Halaman

Rabu, 25 Januari 2017

I’m not Alone, but Really I’m Alone

Entah aku yang lupa atau memang tidak pernah terjadi. Semakin diingat semakin aku lupa, bagaimana pula cara mengingat sesuatu yang mungkin, memang tidak pernah terjadi. Ah sudahlah. Tapi memang, rasanya disetiap aku membutuhkan bahu untuk sekedar bersandar atau telinga yang dengan tulus mendengar keluh kesah dia hampir selalu tidak ada. Kecewa? Tentu saja. Kalau bukan dia siapa lagi? Sahabat? Tidak. Tidak, untuk momen-momen tertentu aku lebih membutuhkan dia bukan sahabatku. Mereka? Sudahlah. Mereka sudah hidup di kisah baru yang kebetulan Tuhan tidak mengajakku dalam setiap skenarionya. Tidak mengapa, aku sudah mulai mengikhlaskan walaupun belum sepenuhnya (buktinya malam ini, maaf lagi-lagi harus kalian yang pertama kali aku ingat ketika aku sendiri dan ingin berkeluh kesah). Mungkin karena mereka tidak pernah meninggalkanku sendiri seperti ini. skip.

Rasanya setiap momen yang sedang atau dia akan lalui aku ingin selalu ikut bersamanya, merasakan setiap detik, apapun yang sedang dikerjakan dan dirasakannya bahkan disetiap lelahnya sekalipun. Merepotkan, tentu saja. Namun, percayalah aku hanya ingin merasakan setidaknya aku jadi tahu. Meski masih banyak hal-hal yang belum aku pahami sepenuhnya. Tidakah dia berpikir demikian? Melalui momen apapun berdua setidaknya lebih baik dari pada sendiri. Bukankan berbagi itu menyenangkan?

Aku yang manja dan terlalu banyak berharap masih belum terbiasa dengan perlakuan-perlakuan seperti ini. Tolong mengertilah, aku juga ingin berubah menjadi mandiri. Tapi, untuk saat ini aku belum siap dengan kondisi keterpurukan ini. Dia pasti belum mengetahui tentang keterpurukan ini, tentu saja. Aku masih menunggu momen yang tepat untuk bercerita dan sedikit berkeluh kesah kepadanya. Mungkin dia selama ini menganggap semuanya baik, dan salahnya aku tidak bisa memperlihatkan kesedihanku akhir-akhir ini kepadanya. Ujung-ujungnya aku tidak bisa mengontrol emosi, terlalu baper dan sensitif, kemudian yang bisa aku lakukan hanya diam dan membendung air itu. Apakah dia peduli? Aku rasa tidak begitu. Keesokan harinya semua akan kembali normal. Baik seperti bisanya. Padahal jika saja dia menanyakan “kenapa” aku akan menceritakan semuanya secara detail mengapa akhir-akhir ini aku menjadi manusia yang selalu lepas kontrol dan terlalu sensitif. Tidakah dia menyadarinya?


Sekarang, aku sudah sampai dikamarku dengan selamat dan sedikit kekecewaan. Besok, aku akan belajar lebih memahami dia dan mengurangi pengharapan-pengharapan itu. Selamat beristirahat, and i miss u so badly J

Sabtu, 21 Januari 2017

Hujan di 21 januari 2017.

Untuk aku yang sedang tidak menikmati waktu, menunggu beberapa jam saja terasa amat menggelisahkan. Maaf hujan, maafkan mereka yang katanya menetap di kota hujan namun selalu menjadikan kau (baca: hujan) sebagai salah satu alasan untuk mengulur bahkan membatalkan suatu kegiatan. Bukan kah seharusnya mereka sudah tau resiko apa yang akan mereka hadapi ketika tinggal dan menetap di kota ini? Kota yang dijuluki sebagai kota hujan. Karena hujan bukan alasan.

Membayangkan kalian datang dan berbagi senyum saja sudah cukup membuat aku tersenyum. Betapa senyum itu makin terkembang ketika kata sesederhana “nyusul” yang kalian kirim menepi kepadaku yang kemudian menimbulkan harap berlebih akan kehadiran kalian. Memang ini hal-hal diluar rencana, namun sungguh rasanya aku ingin sekali menghabiskan waktu bersama kalian dengan harap aku akan melupakan kedukaan-ku hari ini. Namun sayang, canda dan tawa yang tadinya merekah ikut meluruh bersama rintik hujan di kota ini, hingar bingar yang semakin memekang menyadarkan betapa pembajakan emosi mulai merajai hati. Rasa gelisah yang semakin menguat dan kedatangan yang tak kunjung tiba tidak cukup kuat untuk menahan aku agar tetap bersabar dan menunggu kedatangan itu.

Aku amat sangat tidak setuju dengan makhluk yang katanya tinggal dibumi dan selalu beranggapan hal-hal kecil itu sebagai hal sepele yang lalu dengan mudahnya mereka sepelekan. Hal paling sederhana seperti waktu dan janji, hal-hal kecil yang dianggap sepele yang dengan mudahnya mereka ulur tanpa mempertimbangkan suasana hati si korban.

Maaf rasanya aku sudah terlalu bosan menunggu. terimakasih untuk usaha dan waktu yang sudah dikorbankan untuk sekedar menepati janji yang tidak begitu menarik, mungkin. Entah apa yang kalian rasakan untuk kejadian malam ini. Lagi-lagi aku yang terlalu berharap menjadi terlalu kecewa di malam ini. Iya, dengan meninggalkan kalian begitu saja aku pun sama saja seperti kalian yang mengecewakan. Kemudian sama-sama kecewa. Sudahlah. Selamat beristirahat dan mari saling menghargai.

16-Januari-2017

Pagi ini, aku dilanda rasa haru yang entah jelmaan kebahagiaan atau kesedihan, sesak memenuhi rongga dada. Rasa takjub dan banyak rasa lain yang sulit aku terjemahkan saat itu. Saat ketika seorang sahabat masa kecil datang bersama rombongan keluarga besarnya lengkap dengan buah tangan yang terlihat cantik dengan bentuk yang beraneka ragam. Ya, saat itu aku tau tujuan mereka datang, adalah untuk menepati janjinya dulu, janji yang selalu aku anggap guyonan, janji yang ternyata membuatnya bekerja lebih keras untuk itu. Sangat mengejutkan. Ramah tamah yang basa-basi pun berlanjut cukup hikmat, sampai tiba momen dimana aku terkekeh mendengarnya, “ hari ini gue datang datang untuk tepatin janji gue dulu, tapi maaf kali ini gue ga nyiapin kalimat-kalimat gombal dan sebatang coklat kecil kaya biasanya, gue cuma bawa ini, surat-surat bukti kepemilikan dan laporan kinerja perusahaan yang alhamdulillah berhasil gue rintis dan kembangin sampai cukup untuk nepatin janji gue ke lu dulu. Gimana? Udah siapkan? Aga lama dan semoga belum terlambat atau keduluin orang. Haha”. Speechless aseli. Tiba-tiba memori a couple years ago yang tersimpan rapi dalam otak bagian belakang kembali muncul dan rasanya ingin aku ceritakan kembali disini.

Aku mengenalnya ketika duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar. Dia murid pindahan yang kedatangannya cukup meresahkan dengan  segala tingkah kepemimpinannya yang nakal dan disegani semua siswa dan tentunya menjengkelkan bagi kaum siswi disekolah itu. Tak heran berbagai julukan menghinggapinya mulai dari si raja onar, ketua geng dan lain-lain yang kurang aku ingat dengan baik. Objek yang menjadi sasaran utama para guru yang naik pitam karena ulahnya dan anak-anak buahnya. Dan aku salah satu siswi yang berani mentang pendapat dan ulah mereka, aku rasa dia bukan sesuatu yang menakutkan, namun tidak jarang aku dibuat merengek karena ulahnya. Keluar masuk ruang guru karena perdebatan rusuh antara aku dan dia rasanya sudah menjadi hal biasa bagi teman-teman kami dulu. Ketika memasuki tingkat akhir kami mulai mereda dan sedikit berdamai. Mungkin sudah bosan dengan siklus perdebatan yang ujung-ujungnya kami pasti berdamai diruangan itu dan disaksikan guru-guru. Semenjak itu dia menjadi luluh dan memperlakukan aku dengan istimewa, tidak ada siswa yang berani mengganggu atau menggodaku sejak itu. Bahkan obrolan-obrolan hangat, gombalan-gombalan romantis sampai sebatang cokelat kecil bertabur almond hampir selalu mengisi kekosongan diwaktu-waktu santai selama kegiatan sekolah kadang berlanjut hingga jam pulang sekolah. Sedikit menghibur dan menjadi salah satu alasan dia mulai rajin datang kesekolah, dimana sebelumnya guru selalu mengutus salah satu siswa untuk menjemputnya kesekolah. Bukan perlakuan istimewa namun untuk dipermalukan setelah dia berhasil dibujuk dan datang kesekolah. Haha

Sedikit menggelikan ketika mengenangnya kembali, karena you have to realize that’s cerita seragam merah putihhhhh. Haha. Kisah kita sempat terputus ketika dia dan rombongan keluarganya dimutasi ke lain daerah, entah kemana. Aku tidak tau dan tidak mau tau tau. Dan garis takdir mempertemukan kita kembali, pada acara penyyambutan pergantian tahun kalender masehi sekaligus ajang reuni tingkat sekolah dasar. Setelah pertemuan cukup panjang itu akhirnya komunikasi kembali terjalin dengan baik, bahkan hingga aku memutuskan untuk menerima ajakannya untuk menjalin hubungan lebih. Pacaran. Ketika itu kita sudah berseragamputih abu, jadi sedikit wajar. Keragu-raguanku selama ini ternyta benar, hal-hal yang selalu menjadi pertimnabnagn dan sedikit firasat itu benar. Nyatanya hari-hari dengan status pacar justeru mebut kita merenggang dan canggung. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk kita berubah menjadi sahabat kembali. Setelah itu kita sama-sama menghilang. Dan takdir kembali mepertemukan kita, kita menempuh pendidikan untuk mendapatkan gelar sarjana di universitas yang sama. komunikasi dan intensitas pertemuan kembali membaik. Pulang pergi bareng kekampus, aku sih yang nebeng lebih tepatnya. Dari jaman putih merah dia selalu berucap bahwa dia akan melamarku sebagai istrinya. Namun aku selalu hampir menolaknya dengan gaya-gaya cewe matre, “punya apa?” haha. Hingga suatu hari dia bersumpah serapah akan melamar ku ketika dia sudah sukses dan mempunyai perusahaan sendiri. Lucu, tentu saja lucu. Namun, diam-diam aku selalu mengamini doa yang baik itu, rasanya aku akan sangat bahagia mengetahui sahabatku sukses, bukan soal lamaran itu. Entah apa yang selalu da ceritakan kepada mamanya, sehingga mamanya selalu ikut membantu promosi ke mama aku untuk menyakinkan anaknya layak denganku kelak. Haha.

Sebelum akhirnya alarm bergemuruh dan memaksaku kembali kedunia nyata. Kedunia dimana hari ini tepat 15 bulan aku menjalani hubungan dengan seseorang yang aku sebut pacar. Rencananya hari ini kita akan menikmati momen di tanggal 16 dengan bermain air di daerah babakan madang sentul. Pasti menyenangkan dan aku akan segera bergegas setelah ini. Oooya, bahkan detik ini aku tidak tahu kabar dan keberadaan sahabat yang menjadi tokoh utama di bunga tidurku semalam.

#bungatidur1

Kamis, 05 Januari 2017

Desember 2016

Akhir tahun, akhir penyesalan.

Sebelas bulan berlalu ditahun ini, tahun penuh kepalsuan. Entah apa yang mengawalinya. Sebelas bulan terbuang begitu saja, tidak ada hasil kongkrit yang bisa dirasakan. Sebelas bulan pemborosan dan sebelas bulan penuh dosa. Mematahkan harapan-harapan mereka yang (katanya) terkasih. Jadwal-jadwal hidup yang semakin tidak teratur. Hilang arah.

Hati-hati yang patah dan dipatahkan, beban-beban berat yang terasa menyesakan hati, dan penyesalan-penyesalan yang bermunculan. Rasanya sudah cukup lelah dengan semua rutinitas pembodohan ini. Ingin segera menyelesaikan namun terhambat lagi. Faktor-faktor eksternal yang melengkapi ketidakwarasan internal yang rapuh. Senyum dan keceriaan yang dibuat-buat dengan terpaksa. Janji-janji yang belum (bahkan tidak) tertepati. Mimpi-mimpi yang hanya akan menjadi angan tanpa tau bagaimana mewujudkannya. Perih yang menyayat sepenuh raga. Kesempatan-kesempatan yang enyah.

Kehilangan yang abadi. Rindu yang sulit disampaikan.


Tertekan.