Halaman

Selasa, 29 Oktober 2013

Sampai kapan?


Damm its sweet!  >,<
“Jangan kau kira aku slalu bisa bersabar melihat sikapmu yang tak pernah bisa berubah
 Aku mungkin terlihat bisa memaklumimu, Tapi hatiku tidak.
Berkali ku katakan jangan kau bohongi aku, Karna percuma pasti nanti aku kan tahu.
Sebab yang ku inginkan hanyalah ketulusan. Namun nyatanya tidak…
Aku memang bukanlah cinta sempurna. Tapi aku masih punya arti kesungguhan tuk cintaimu
Kesungguhan di hatiku, kesungguhan untuk mengasihimu..
Aku memang bukanlah cinta sempurna.
Tapi aku masih punya arti kesungguhan tuk cintaimu Untuk mengasihimu…
Aku memang bukanlah cinta sempurnaTapi cinta itu ada.”

Sialkulah kau di sini. Dan upayaku tahu diri. Tak slamanya berhasil pabila kau muncul terus begini tanpa pernah kita bersama. Pergilah ,menghilang sajalah lagi. Meski masih ingin memandangimu, lebih baik kau tiada di sini. Sungguh tak mudah bagiku menghentikan sgala khayalan gila jika kau ada. Berkali-kali kau berkata kau cinta tapi tak bisa, berkali-kali ku tlah berjanji Menyerah—Dan upayaku tahu diri. Tak slamanya berhasil. Ooo!!!! >,<

Senin, 28 Oktober 2013

Mari merenung dan berfikir kawan!


MAKNA SEBUAH TITIPAN
(WS Rendra)

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
 
Lalu apa yang terlintas mengenai puisi tersebut? Entahlah.